MenjadiPengikut Kristus. 19 Mar, 2017 by Vik. Edward Oei. Baca: 1 Korintus 10: 23-33. ( Download Ringkasan) Hari ini kita melihat satu bagian Firman Tuhan ketika Rasul Paulus mengajarkan hidup secara praktis menjadi seorang Kristen. Ini merupakan bagian dari satu rangkaian yang Paulus berbicara tentang kehidupan sebagai umat Allah –Gereja Kebenaranjuga berada di jantung ajaran Yesus di Matius 4.17 ini. Yesus disebut sebagai pemberita kebenaran. Nuh digambarkan oleh Petrus di 2 Petrus 2:5 sebagai seorang pemberita kebenaran. Setiap pemberita di dalam Alkitab adalah pemberita kebenaran. Sayangnya, kebenaran tidak lagi merupakan tema di lingkungan gereja. OlehBudha lah aku diajarkan Cinta kasih terhadap semua mahkluk hidup apapun juga.. Apa yang kita tanam.. itu yg kita petik.. Apa yg kita lakukan.. itu yg kita dapatkan.. ingat sukacita dan dukacita ditangan kita, bukan ditangan siapa".. KARMA selalu ada didunia ini.. itu Ajaran yg diajarkan oleh "Sang Budha.." Amitofo.."" Reply Delete Kebenaranketiga menyatakan bahwa adalah mungkin untuk bebas dari semua duka dan masalah, dan kebenaran keempat menguraikan sebuah jalan, yang jika kita ikuti, dapat membantu kita DoaBapa Kami merupakan doa yang diajarkan oleh Yesus, sebuah doa yang singkat namun mencakup seluruh pergumulan hidup manusia. Penjelasan: maaf kalo salah ya. Sekian tanya-jawab mengenai Tuliskan contoh yang diberikan tuhan Yesus mengenai pentingnya ibadah berdoa dan membaca Alkitab , semoga dengan ini bisa membantu menyelesaikan masalah StrukturKhotbah. Pembagian Khotbah secara umum terbagi menjadi 3 bagian yaitu bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup. Penjelasannya adalah sebagai berikut ini. Bagian Adadua kelemahan yang kuat di dalam gaya ini. Pertama khotbah semacam ini sering kekurangan arti konteks yang sesungguhnya, lalu roh dan pikiran pendengarnya tidak terbangun. Kedua, penyampaian firman dapat disampaikan dengan luapan emosi yang berlebihan, hingga tidak masuk akal juga tidak memberi keyakinan. 4. 1 jelaskan tentang kerjasama yang berkaitan dengan sila ketiga pancasila!2. tuliskan 3 manfaat kerjasama!3. tuliskan 3 contoh sikap rela berkorban di sekolah kalian!4. PENDAHULUAN Konsili Vatikan II telah memulai tahap baru dalam hubungan Gereja dengan agama-agama lain. Banyak dokumen Konsili secara eksplisit mengacu kepadanya, dan terutama satu, deklarasi Nostra Aetate, seluruhnya dikhususkan bagi ‘hubungan antara Gereja Katolik dan agama-agama dan kepercayaan lain.. Perubahan pesat di dunia dan perenungan Asalusul pattidana ini terdapat di Paramathajotika (Ilustrasi Arti Tertinggi) yang merupakan kitab komentar Khuddakapatha. Di sana diceritakan, 92 kalpa yang lampau sekelompok orang mengorupsi apa yang seharusnya dipersembahkan kepada Sangha yang dipimpin oleh Buddha Phussa. Sebagai akibatnya mereka dilahirkan di alam-alam neraka EiEz. Setelah Sri Bhagavā Buddha mengutus keenam puluh siswa-Nya, Ia sendiri tetap melanjutkan pembabaran Dhamma tanpa kenal lelah selama empat puluh lima tahun. Selama dua puluh tahun pertama masa pembabaran Dhamma ini, Sri Bhagavā melewatkan masa berdiam musim hujan di berbagai tempat dan vihāra baca wihara[1]. Namun, selama dua puluh lima tahun terakhir, Ia melewatkan sebagian besar masa berdiam-Nya di Sāvatthī. Berikut adalah kronologi pembabaran Dhamma yang dilakukan oleh Sri Bhagavā selama empat puluh lima tahun dari tahun 588 Sebelum Era Umum SEU berdasarkan penanggalan tradisi, atau 528 SEU berdasarkan penanggalan sejarah, atau 45 Sebelum Era Buddhis SEB, hingga 544 SEU, atau 484 SEU, atau tahun 1 SEB. TAHUN PERTAMA 588 SEU/528 SEU/45 SEB Tempat kediaman musim hujanTaman Rusa Pali Migadāya, Sanskerta Mrigadava, di Isipatana dekat Bārānasī Benares; Varanasi, Kāsi. Peristiwa utamaBuddha membabarkan khotbah pertama Dhammacakkappavattana Sutta, Anattalakkhaṇa Sutta, dan Ādittapariyāya Sutta; mengalihyakinkan kelima petapa Pañcavaggiyā; mendirikan Persamuhan Saṅgha Bhikkhu dan Tiga Pernaungan Tisaraṇa; mengalihyakinkan Yasa dan kelima puluh empat sahabatnya; mengutus para duta Dhamma pertama; mengalihyakinkan ketiga puluh pangeran yang dikenal sebagai bhaddavaggiyā di hutan Kappāsika; mengalihyakinkan ketiga Kassapa bersaudara beserta seribu orang pengikut mereka. TAHUN KEDUA SAMPAI KEEMPAT 587 – 585 SEU/527-525/44-42 SEB Tempat kediaman musim hujanVihara Hutan Bambu Pali Veluvanāramā; Sanskerta Venuvanāramā, di dekat Rājagaha, Magadha. Peristiwa utamaBuddha memenuhi janji kepada Raja Bimbisāra; menerima Vihara Veluvana sebagai pemberian dana; menyabdakan Nasihat Menuju Pembebasan Pali Ovāda Pāṭimokkha; Sanskerta Avavāda Prātimokṣa[2]; menunjuk Sāriputta dan Moggallāna sebagai siswa bhikkhu utama Pali aggasāvaka; Sanskerta agraśrāvaka; mengunjungi Kapilavatthu; mempertunjukkan mukjizat ganda Pali yamaka pāṭihāriya; Sanskerta yamaka prātihārya; menahbiskan Pangeran Rāhula dan Pangeran Nanda; mengukuhkan Raja Suddhodana, Ratu Mahāpajāpatī Gotamī, serta Yasodharā ke dalam arus kesucian; menahbiskan keenam pangeran Sākya Ānanda, Anuruddha, Bhaddiya, Bhagu, Devadatta, dan Kimbila; bertemu dengan Anāthapiṇḍika; menerima Vihara Hutan Jeta Jetavana di Sāvatthi, Kosala, sebagai pemberian dana dari Anāthapiṇḍika yang telah membelinya dari Pangeran Jeta; bertemu dengan Raja Pasenadi Sanskerta Prasenajit dari Kosala; mendamaikan sengketa antara suku Sākya dan Koliya; membabarkan Mahāsamaya Sutta. TAHUN KELIMA 584 SEU/524 SU/41 SEB Tempat kediaman musim hujanBalairung Puncak Pali Kūtāgārasālā; Sanskerta Kūṭāgārasālā, Mahāvana, di dekat Vesāli, Vajjī. Peristiwa utamaWafatnya Raja Suddhodana; Sri Bhagavā mengizinkan Ratu Mahāpajāpatī Gotamī bersama kelima ratus putri untuk menjadi bhikkhunī; mendirikan Saṅgha Bhikkhunī; membabarkan Khotbah Penyaluran Derma Pali Dakkhiṇāvibhaṅga Sutta; Sankserta Dakṣiṇāvibhāga Sūtra. TAHUN KEENAM 583 SEU/523 SEU/40 SEB Tempat kediaman musim hujanBukit Mankula Pali Mankulapabbata; Sanskerta Mankulaparvata, di dekat Kosambī, Vamsā. Peristiwa utamaRatu Khemā dari Magadha menjadi bhikkhunī dan kemudian ditunjuk sebagai salah satu dari kedua siswi bhikkhunī utama bersama dengan Uppalavannā dari Sāvatthi; Sri Bhagavā melarang mempertunjukkan mukjizat demi keuntungan pribadi dan harga diri mereka sendiri; Sri Bhagavā melakukan mukjizat ganda. TAHUN KETUJUH 582 SEU/522 SEU/39 SEB Tempat kediaman musim hujanSurga Tāvatiṃsa Sankserta Trāyastriṃśa Peristiwa utamaBuddha melakukan mukjizat; melakukan pembabaran Abhidhamma[3] di Surga Tāvatiṃsa; Ciñcāmānavikā dari Sāvatthi, memfitnah Sri Bhagavā di Vihara Jetavana. TAHUN KEDELAPAN 581 SEU/521 SEU/38 SEB Tempat kediaman musim hujanHutan Bhesakala Pali Bhesakalāvana; Sanskerta Bhēśkalāvana, di dekat Sumsumāragiri, Distrik Bhaggā, Vamsā. Peristiwa utamaPangeran Bodhi Bodhirājakumāra mengundang Sri Bhagavā ke Kokanada, istana barunya, untuk menerima dana makanan dan Sri Bhagavā membabarkan Khotbah kepada Bodhirājakumāra Pali Bodhirājakumāra Sutta; Sanskerta Bodhirājakumāra Sūtra. TAHUN KESEMBILAN 580 SEU/520 SEU/37 SEB Tempat kediaman musim hujanVihara Ghosita Pali Ghositārāma; Sanskerta Ghuṣitārāma di Kosambī, Vamsā. Peristiwa utamaMāgandiyā membalas dendam karena Sri Bhagavā menolaknya sebagai istri; terjadi sengketa di antara para bhikkhu di Kosambī. TAHUN KESEPULUH 579 SEU/519 SEU/36 SEB Tempat kediaman musim hujanHutan Kecil Rakkhita Pali Rakkhitavanaṣaṇḍa; Sanskerta Rakṣitavanaṣaṇḍa di dekat Desa Pārileyyaka, Vamsā. Peristiwa utamaKarena terjadi sengketa yang berkepanjangan di antara para bhikkhu di Kosambī, Sri Bhagavā akhirnya menyendiri di Hutan Belukar Rakkhita, di dekat Desa Pārileyyaka, ditemani oleh gajah Pārileyyaka. Pada penghujung kediaman musim hujan tersebut Ānanda, atas nama para warga Sāvatthi, mengundang Sri Bhagavā untuk kembali ke Sāvatthi. Para bhikkhu Kosambī yang bersengketa tersebut kemudian memohon maaf kepada Sri Bhagavā dan kemudian menyelesaikan sengketa mereka. TAHUN KESEBELAS 578 SEU/518 SEU/35 SEB Tempat kediaman musim hujanVihara Dakkhināgiri Sankserta Dakṣiṇagiri, di Avanti. Peristiwa utamaBuddha mengalihyakinkan Brahmin Kasī-Bhāradvāja dari Desa Ekānalā, dengan membabarkan Khotbah kepada Kasī-Bhāradvāja Pali Kasī-Bhāradvāja Sutta; menuju ke Kammasadamma di Negeri Kuru serta membabarkan Khotbah Besar/Panjang tentang Perhatian Penuh Pali Mahā-satipaṭṭhāna Sutta; Sankserta Maha-smṛtyupasthāna Sūtra dan Khotbah Besar/Panjang tentang Penyebab Pali Mahā-Nidāna Sutta; Sanskerta Mahā-Nidāna Sūtra. TAHUN KEDUA BELAS 577 SEU/517 SEU/34 SEB Tempat kediaman musim hujanVerañjā, di Pañcāla. Peristiwa utamaSri Bhagavā memenuhi undangan seorang brahmin di Verañja untuk melewatkan kediaman musim hujan sana. Sayangnya, waktu itu terjadi bencana kelaparan di sana. Akibatnya, Sri Bhagavā dan para siswa-Nya hanya memperoleh makanan mentah yang biasanya diberikan kepada kuda yang dipersembahkan oleh sekelompok pedagang kuda. TAHUN KETIGA BELAS 576 SEU/516 SEU/33 SEB Tempat kediaman musim hujanBukit Batu Cadas Cālikā Pali Cālikāpabbata; Sankserta Cālikāparvata, di Ceti[4]. Peristiwa utamaSetelah melewati kediaman musim hujan, Sri Bhagavā menuju ke Kota Bhaddiya di Anga untuk mengalihyakinkan sang hartawan Mendaka beserta istrinya yaitu Candapadumā, putranya yaitu Dhanañjaya, menantunya yaitu Sumanadevī, cucu putrinya yang berumur tujuh tahun yaitu Visākhā, serta pembantunya yaitu Punna; mengalihyakinkan Sīha, seorang panglima di Vesali yang sekaligus merupakan pengikut Nigantha Nātaputta[5]; membabarkan Khotbah Besar/Panjang Nasihat kepada Rāhula Pali Mahā-rāhulovāda Sutta; Sanskerta Mahā-rāhulovāda Sūtra. TAHUN KEEMPAT BELAS 575 SEU/515 SEU/32 SEB Tempat kediaman musim hujanVihara Jetavana, di Savatthi, Kosala. Peristiwa utamaRāhula, putra dari Pangeran Siddhattha yang kini menjadi Buddha, menerima penahbisan lanjut dan menjadi bhikkhu; Sri Bhagavā membabarkan Khotbah Kecil/Singkat kepada Rāhula Pali Cūla-rāhulovāda Sutta; Sanskerta Kṣulla-rāhulovāda Sūtra, Khotbah mengenai Bukit Semut Pali Vammīka Sutta; Sanskerta Valmīka Sūtra dan Khotbah Pali Sūciloma Sutta; Sanskerta Sūciloma Sūtra. TAHUN KELIMA BELAS 574 SEU/514 SEU/31 SEB Tempat kediaman musim hujanVihara Nigrodha Pali Nigrodhārāma; Sanskerta Nyagrodhārāma di Hutan Kecil Pohon Jawi[6], di Kapilavatthu, Kosala. Peristiwa utamaWafatnya Raja Suppabuddha, ayah-mertua Pangeran Siddhattha Sri Buddha. TAHUN KEENAM BELAS 573 SEU/513 SEU/30 SEB Tempat kediaman musim hujanCetiya Aggālava, Kota Ālavī, di antara Sāvatthi Kosala dan Rājagaha Magadha. Peristiwa utamaSri Bhagavā menyelamatkan Ālavaka yang juga dikenal dengan nama Hatthaka. TAHUN KETUJUH BELAS 572 SEU/512 SEU/29 SEB Tempat kediaman musim hujanVihara Hutan Bambu Pali Veluvanāramā; Sanskerta Venuvanāramā, Kalandakanivāpa suaka alam tempat memberi makan tupai hitam, di dekat Rājagaha, Magadha. Peristiwa utamaBuddha membabarkan Khotbah Kemenangan Pali Vijaya Sutta; Sanskerta Vijaya Sūtra; membabarkan Khotbah Nasihat kepada Sigāla Pali Sigālovāda Sutta; Sanskerta Sr̥gālovāda Sūtra, seorang perumah tangga muda Sigāla . TAHUN KEDELAPAN BELAS Sampai KESEMBILAN BELAS 571 – 570 SEU/511-510 SEU/28-27 SEB Tempat kediaman musim hujanBukit Batu Cadas Cālikā Pali Cālikāpabbata; Sankserta Cālikāparvata, di Ceti. Peristiwa utamaSri Bhagavā memberikan khotbah kepada seorang gadis penenun beserta ayahnya di Kota Ālavī; Sri Bhagavā mengalihyakinkan Kukkutamitta sang pemburu dan keluarganya. TAHUN KEDUA PULUH 569 SEU/509 SEU/26 SEB Tempat kediaman musim hujanVeluvanāramā, di dekat Rājagaha, Magadha. Peristiwa utamaBuddha menetapkan aturan-aturan Pārājika[7]; menunjuk Ananda sebagai pengiring tetap; pertemuan pertama dengan Jīvaka Komārabhacca; mengalihyakinkan Angulimāla; Sri Bhagavā dituduh atas pembunuhan Sundarī; meluruskan pandangan salah Brahmā Baka; menundukkan Raja Kobra Pali, Sanskerta Nāga Nandopananda. TAHUN KEDUA PULUH SATU SAMPAI KEEMPAT PULUH EMPAT 568-545 SEU/508-485/25-2 SEB Tempat kediaman musim hujanVihara Jetavana dan Vihara Pubba Pali Pubbārāma; Sanskerta Purvārāma di Sāvatthi, Kosalā. Peristiwa utamaKisah mengenai Raja Pukkusāti dari Gandhāra; Sri Bhagavā membabarkan Khotbah kepada Ambattha Pali Ambattha Sutta; Sanskerta Ambartha Sūtra di Desa Iccānanagala; penyerahan Vihara Pubba sebagai dana; wafatnya Raja Bimbisāra; Bhikkhu Devadatta berusaha membunuh Sri Bhagavā; menjinakkan Gajah Nālāgiri; Bhikkhu Devadatta menciptakan perpecahan di dalam Sangga; meninggalnya Bhikkhu Devadatta; pertemuan Sri Bhagavā dengan Raja Ajatāsattu Sanskerta Ajātaśatru; wafatnya Raja Pasenadi dari Kosala; membabarkan Khotbah mengenai Pertanyaan Sakka Pali Sakka Pañha Sutta; Sanskerta Śakra Praśna Sūtra. TAHUN KEEMPAT PULUH LIMA 544 SEU/484 SEU/1 SEB Tempat kediaman musim hujanDesa Beluva/Veluva Pali Beluvagāma; Sanskerta Veluvagrāma, di dekat Vesāli, Vajjī. Peristiwa utamaBuddha mengalihyakinkan Upāli Gahapati, siswa utama Nigantha Nātaputta; membabarkan ketujuh kondisi kesejahteraan bagi para penguasa dunia dan para bhikkhu; menyampaikan ceramah Cermin Dhamma Pali Dhammādāsa dhammapariyāya; Sanskerta Dharmādarśa Dharmaparyāya; menerima Hutan Mangga Pali Ambapālivana; Sanskerta Amrapālivana dari Ambapālī sebagai persembahan dana; wafatnya Sāriputta dan Moggallāna; Sri Bhagavā sakit keras; membabarkan Empat Sumber Acuan Utama Pali Cattāro Mahāpadesā; Sankserta Catu Mahāpadeśa; menyantap Sūkaramaddava[8] yang dipersembahkan oleh Cunda Kammāraputta Sanskerta Kārmāraputra – Putra Pandai Besi di Pāvā, Mallā ; menerima petapa kelana Subhadda sebagai siswa terakhir. KEGIATAN SEHARI-HARI SRI BHAGAVĀ Selama empat puluh lima tahun Sri Bhagavā membabarkan Dhamma dengan semangat. Dan setiap hari Ia melakukan kegiatan rutin-Nya tanpa mengenal jenuh. Kegiatan harian yang dilakukan Sri Bhagavā bisa dibagi ke dalam lima sesi, yaitu 1 kegiatan pagi pure-bhatta kicca, 2 kegiatan siang pacchā-bhatta kicca, 3 kegiatan waktu jaga pertama malam purimāyāma kicca, 4 kegiatan waktu jaga pertengahan malam majjhimāyāma kicca, dan 5 kegiatan waktu jaga terakhir malam pacchimāyāma kicca. Kegiatan Pagi sekitar pukul – Sri Bhagavā bangun pukul kemudian setelah mandi Ia bermeditasi selama satu jam. Setelah itu pada pukul Beliau memindai dunia dengan Mata Buddha-Nya untuk melihat siapa yang bisa Ia bantu. Pukul Sri Bhagavā menata jubah bawah, mengencangkan ikat pinggang, mengenakan jubah atas, membawa mangkuk dana-Nya, lalu pergi menuju ke desa terdekat untuk menerima dana makanan. Terkadang Sri Bhagavā melakukan perjalanan untuk menuntun beberapa orang ke jalan yang benar dengan kebijaksanaan-Nya. Setelah menyelesaikan makan sebelum tengah hari, Sri Bhagavā akan membabarkan khotbah singkat; Ia akan mengukuhkan sebagian pendengar dalam Tiga Pernaungan. Kadang Ia memberikan penahbisan bagi mereka yang ingin memasuki Persamuhan. Kegiatan Siang sekitar pukul – Pada waktu ini, biasanya digunakan oleh Sri Bhagavā untuk memberikan petunjuk kepada para bhikkhu dan untuk menjawab pertanyaan dari para bhikkhu. Setelah itu Sri Bhagavā akan kembali ke bilik-Nya untuk beristirahat dan memindai seisi dunia untuk melihat siapa yang memerlukan pertolongan-Nya. Lalu, menjelang senja, Sri Bhagavā menerima para penduduk kota dan desa setempat di aula pembabaran serta membabarkan khotbah kepada mereka. Saat Sri Bhagavā membabarkan Dhamma, masing-masing pendengar, walaupun memiliki perangai yang berlainan, berpikir bahwa khotbah Sri Bhagavā ditujukan secara khusus kepada dirinya. Demikianlah cara Sri Bhagavā membabarkan Dhamma, yang sesuai dengan waktu dan keadaannya. Ajaran luhur dari Sri Bhagavā terasa menarik, baik bagi khalayak ramai maupun kaum cendekia. Kegiatan Waktu Jaga Pertama Malam sekitar pukul – Setelah para umat awam pulang, Sri Bhagavā bangkit dari duduk-Nya pergi mandi. Setelah mandi, Sri Bhagavā mengenakan jubah-Nya dengan baik dan berdiam sejenak seorang diri di bilik-Nya. Sementara itu, para bhikkhu akan datang dari tempat berdiamnya masing-masing dan berkmpul untuk memberikan penghormatan kepada Sri Bhagavā. Kali ini, para bhikkhu bebas mendekati Sri Bhagavā untuk menghilangkan keraguan mereka, untuk meminta nasihat-Nya mengenai kepelikan Dhamma, untuk mendapatkan objek meditasi yang sesuai, dan untuk mendengarkan ajaran-Nya. Kegiatan Waktu Jaga Pertengahan Malam sekitar pukul – Rentang waktu ini disediakan khusus bagi para makhluk surgawi seperti para dewa dan brahma dari sepuluh ribu tata dunia. Mereka mendekati Sri Bhagavā untuk bertanya mengenai Dhamma yang selama ini tengah mereka pikirkan. Sri Bhagavā melewatkan tengah malam itu sepenuhnya untuk menyelesaikan semua masalah dan kebingungan mereka. Kegiatan Waktu Jaga Terakhir Malam sekitar pukul – Rentang waktu ini dipergunakan sepenuhnya untuk Sri Bhagavā sendiri. Pukul sampai Sri Bhagavā berjalan-jalan untk mengurangi penat tubuh-Nya yang menjadi kaku karena duduk sejak fajar. Pukul sampai dengan perhatian murni, Ia tidur di sisi kanan-Nya di dalam Bilik Harum-Nya Gandhakuti[9]. Pada pukul sampai Sri Bhagavā bangkit dari tidur, duduk bersilang kaki dan bermeditasi menikmati Nibbāna. Demikianlah kegiatan harian yang dilakukan oleh Sri Bhagavā, yang Ia lakukan sepanjang hidup-Nya. Catatan [1] Vihāra atau vihara dibaca wihara secara harfiah berarti tempat tinggal. Sering disebut juga dengan saṅghārāma atau ārāma Indonesia asrama, merupakan bangunan yang dipergunakan oleh para bhikkhu dan bhikkhunī untuk menetap hanya pada masa berdiam musim hujan. Istilah Indonesia untuk “biara” berasal dari kata vihāra.[2] Pātimokkha juga merupakan istilah untuk kode atau peraturan dasar disiplin keviharaan baca kewiharaan untuk para bhikkhu dan bhikkhunī.[3] Abhidhamma Sanskerta Abhidharma, dari kata abhi- penguasaan, terhadap, lanjut dan dhamma/dharma ajaran, kebenaran. Abhidhamma bisa diterjemahkan sebagai Penguasaan Dhamma atau Ajaran Lanjut.[4] Ceti atau Cetiya Sanskerta Chedi merupakan salah satu dari 16 Mahājanapada Negara Besar, yang lainnya Kāsī, Kosala, Anga, Magadha, Vajji, Mallā, Vamsā, Kuru, Pañcāla, Macchā, Sūrasena, Assaka, Avantī, Gandhāra dan Kamboja.[5] Sanskerta Nirgrantha Nathaputra. Juga dikenal dengan nama Mahavira atau Vardhamana, merupakan seorang guru aliran Nigantha/Nirgrantha atau Jain.[6] Pohon banyan India Pali Nigrodha; Sanskerta N’yagrōdha; Latin Ficus benghalensis.[7] Peraturan mengenai pelanggaran yang serius, berat, yang tidak dapat diperbaiki, dan menyebabkan pelanggarnya dikeluarkan dari kebhikkhuan.[8] Sūkaramaddava Sanskerta Sūkaramārdava, adalah nama dari sejenis makanan. Hingga sekarang, jenis makanan ini masih belum diketahui secara pasti. Secara harfiah berasal dari kata sūkara babi dan maddava lunak. Menurut Dīgha Nikāya Atthakathā kitab komentar, Sūkaramaddava atau daging babi lunak adalah daging dari seekor babi yang tidak terlalu muda atau terlalu tua, yang sudah tersedia pavattamaṃsa dan tidak dibunuh khusus untuk Sri Bhagavā; sebagian ahli menafsirkannya sebagai beras lunak yang ditanak dengan lima macam makanan olahan dari sapi; sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa makanan tersebut adalah makanan khusus yang dipersiapkan dengan ramuan tertentu yang disebut rasāyana yang lezat dan sangat bergizi, dan sementara sebagian ahli lainnya mengatakan bahwa makanan tersebut adalah tumbuhan jamur yang digemari oleh babi.[9] Gandhakuti secara harfiah dari kata “gandha” harum dan “kuti” bilik, pondok. DAFTAR ISI PendahuluanKelahiran dan Kehidupan Istana Pangeran SiddhatthaPelepasan Keduniawian Pangeran SiddhatthaKehidupan Petapa GotamaPencerahan AgungPemutaran Roda DhammaEmpat Puluh Lima Tahun Membabarkan DhammaPerjalanan Terakhir Buddha GotamaMahaparinibbana Buddha Gotama DHAMMA-SARI Disusun oleh Maha Pandita Sumedha Widyadharma Penerbit Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda Cetakan Kesembilan, 1994 BAB III EMPAT KESUNYATAAN MULIA Kesunyataan Mulia Pertama Dukkha Yang menjadi pokok ajaran Sang Buddha terletak pada Empat Kesunyataan Mulia ini yang Beliau babarkan dalam khotbah-Nya yang pertama kepada lima orang pertapa bekas teman seperjuangan-Nya di Isipatana sekarang Sarnath dekat Benares. Dalam khotbah ini yang dapat kita ketahui dari teks aslinya, Empat Kesunyataan Mulia ini dikhotbahkan tidak secara panjang lebar. Tetapi di bagian-bagian lain yang tidak terhitung jumlahnya, ajaran ini dibabarkan dan diterangkan berulang-ulang dengan lebih terperinci dan dengan berbagai macam cara. Kalau kita mempelajari Empat Kesunyataan Mulia dari keterangan dan perincian tersebut di atas, kita akan mendapat gambaran yang baik dan tepat tentang ajaran yang penting ini sesuai dengan teksnya yang asli. Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari D u k k h a, dukkha D u k k h a S a m u d a y a, sumber dukkha D u k k h a N i r o d h a, terhentinya dukkha M a g g a, jalan yang menuju ke terhentinya dukkha. KESUNYATAAN MULIA PERTAMA D U K K H A Kesunyataan Mulia Pertama Dukkha Ariyasacca pada umumnya oleh hampir semua sarjana diterjemahkan sebagai “Kesunyataan Mulia Pertama tentang penderitaan” dan ini menurut anggapan mereka harus diartikan bahwa menurut paham Buddhis, penghidupan ini tidak lain daripada penderitaan dan kesakitan. Terjemahan dan arti yang diberikan itu kedua-duanya ternyata tidak memuaskan dan dapat menimbulkan kesalahpahaman. Dengan adanya terjemahan yang singkat dan bebas ini, banyak orang mendapat gambaran salah bahwa agama Buddha adalah pesimistis. Di sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis dan juga bukan optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama Buddha adalah agama yang realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk melihat hidup dan kehidupan di dunia ini dengan cara realistis. Agama Buddha melihat benda-benda dan segala sesuatunya dengan obyektif jathabhutang dan tidak menggambarkan secara keliru dan bodoh bahwa “penghidupan ini sorga” dan juga tidak ingin menakut-nakutkan umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk akal. Agama Buddha memberitahukan kepada Anda secara wajar dan tanpa tedeng aling-aling tentang siapa sebenarnya Anda dan apakah yang ada di sekeliling Anda dan juga menunjukkan jalan untuk mencapai kebebasan sempurna, ketenangan, keseimbangan dan kebahagiaan. Seorang dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang-pasien terlalu parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan. Dokter yang lain lagi secara tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa orang sakit itu sama sekali tidak sakit apa-apa dan karena itu tidak memerlukan obat; sehingga orang sakit itu mendapat hiburan yang tidak pada tempatnya. Kita dapat menamakan dokter yang pertama sebagai pesimistis dan dokter yang kedua optimistis, namun kedua-duanya sebenarnya sama-sama berbahaya. Tetapi dokter yang ketiga dengan terang dapat melihat gejala-gejala orang sakit itu, mengetahui juga sebab dari penyakitnya, melihat dengan jelas bahwa orang sakit itu dapat disembuhkan dan dengan bertanggung jawab memberi pengobatan sehingga jiwa orang sakit itu dapat ditolong. Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini. Beliau adalah dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini Bhisaka atau Bhaisajya-Guru. Tidak dapat disangkal bahwa kata Pali “dukkha” dalam percakapan sehari-hari berarti “derita”, “sakit”, “sedih” atau “masygul” sebagai lawan dari kata “sukha” yang berarti “bahagia”, “senang” atau “gembira”. Tetapi kata “dukkha” yang dipakai, dalam Kesunyataan Mulia Pertama, yang merupakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dalam bentuk apa pun juga, mempunyai arti filosofis yang lebih dalam dan mencakup bidang yang sangat luas. Kata “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama selain berarti “derita” biasa juga, mempunyai arti yang lebih dalam lagi, seperti “tidak sempurna”, “tidak kekal”, “kosong”, “tanpa inti”, dll. Dari itu, sulit sekali untuk menemukan satu kata yang dapat mencakup seluruh arti istilah “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama. Karena itu, dianggap lebih bijaksana untuk tidak menterjemahkannya daripada memberikan terjemahan yang salah dan tidak sempurna seperti “derita” dan “sakit”. Sang Buddha belum pernah tidak mengakui adanya kebahagiaan dalam kehidupan. Sebaliknya Beliau mengakui tentang berbagai bentuk kebahagiaan, materiil maupun spiritual, bagi orang biasa dan juga bagi para bhikkhu. Dalam kitab Angutara-Nikaya, salah satu kitab yang berisi koleksi asli dalam bahasa Pali dari khotbah-khotbah Sang Buddha, dapat ditemukan satu daftar dari kebahagiaan sukhani, misalnya kebahagiaan kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan seorang pertapa, kebahagiaan getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan dari orang yang menyingkir dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu dan kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan, kebahagiaan badaniah dan kebahagiaan mental, dan lain-lain. Namun, semua kebahagiaan yang disebut di atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan, harus diketahui bahwa keadaan “jhana” yang dapat dicapai dengan melaksanakan samadhi, sehingga orang dapat membebaskan dirinya dari penderitaan dalam arti umum dan berada dalam kebahagiaan yang murni atau keadaan “jhana” yang terbebas dari perasaan “sukha” dan “dukkha” sehingga merupakan keseimbangan dan kesadaran belaka juga termasuk dalam pengertian “dukkha”. Dalam salah satu sutta dari Majjhima-Nikaya, setelah memuji tinggi kebahagiaan batin yang diperoleh dari “jhana”, Sang Buddha kemudian bersabda bahwa kebahagiaan itu akan berubah dan tidak kekal dan karenanya harus digolongkan dalam “dukkha” anicca dukkha viparinama-dhamma. Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui dengan jelas, bahwa “dukkha” bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam arti umum, tetapi segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah “dukkha” Yad aniccang tang dukkhang. Sang Buddha adalah Orang yang realis dan objektif. Dalam hubungan dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-hawa nafsu, Beliau minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal perasaan tertarik atau kegembiraan assada akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas adinava perasaan tidak terikat atau terbebas nissarana. Kalau Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan bagus orangnya, Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh kesenangan dan kepuasan bertemu, dengan orang tersebut. Inilah yang dinamakan kegembiraan assada. Hal ini dapat kita alami sendiri. Tetapi kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu; dan segala sesuatu yang membuatnya tertarik juga tidak kekal. Kalau Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan orang itu sehingga, tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan gembira, Anda akan menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan “tidak baik”, “berbahaya” dan “tidak memuaskan” adinava. Hal inipun dapat kita alami sendiri dalam penghidupan kita sehari-hari. Kemudian kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan “tidak terikat” dan “terbebas” nissaana. Ketiga hal yang tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang ada hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang Anda mendapat gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu. Dengan demikian barulah kita dapat memahami hidup ini secara menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya, barulah dapat dicapai pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda sbb. “O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Tetapi, O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan oleh karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya; dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.” Konsep dukkha dapat ditinjau dari tiga segi dukkha sebagai derita biasa dukkha-dukkha dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan viparinama-dukkha dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi sankhara-dukkha. Semua jenis penderitaan dalam penghidupan seperti dilahirkan, berusia tua, mati; bekerjasama dengan orang yang tidak disukai atau harus berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan; dipisahkan dari orang yang dicintai atau keadaan yang disenangi; tidak memperoleh sesuatu yang didambakan; kesedihan, keluh-kesah, kegagalan dan semua bentuk derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap sebagai derita dan sakit dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai derita biasa” dukkha-dukkha. Suatu perasaan bahagia, suatu keadaan bahagia dalam kehidupan adalah tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaan. Semua ini dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan” viparinama-dukkha. Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang disebut di atas. Tidak seorangpun yang dapat menyangkalnya. Kedua segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita sehari-hari. Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa yang kita anggap sebagai “makhluk”, sebagai “orang” atau sebagai “aku” itu. Menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang atau “aku” hanya merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang terdiri atas Lima Kelompok Kegemaran pancakkhanda. Sang Buddha pernah bersabda sbb. “Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Lima Kelompok Kegemaran ini adalah dukkha”. Pada kesempatan lain Beliau dengan tegas menyatakan bahwa dukkha ialah Lima Kelompok Kegemaran. “O bhikkhu, apakah dukkha itu? Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok Kegemaran bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok Kegemaran itu sendiri adalah dukkha. Kita akan dapat mengerti lebih baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima Kelompok Kegemaran tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa yang kita namakan “makhluk”. Sekarang marilah kita menelaah Lima Khandha tersebut. LIMA KHANDA Khandha pertama ialah “kegemaran kepada bentuk” rupakkhandha. Dalam kelompok ini termasuk empat Mahabhuta, yaitu empat unsur yang terdiri dari benda padat, cair, panas dan gerak. Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat kita hubungkan dengan empat Mahabhuta itu seperti lima indria kita mata, hidung, telinga, lidah dan badan dengan obyek-sasarannya seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran dhammayatana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek sasarannya, tercakup dalam Rupakkhanda ini. Khandha kedua ialah “kegemaran kepada perasaan” vedanakkhanda. Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan perasaan netral yang timbul karena adanya kontak dari indria kita dengan dunia luar. Ada enam jenis perasaan perasaan yang timbul dari kontak melalui mata dengan bentuk-bentuk yang terlihat; telinga dengan suara, hidung dengan bebauan; lidah dengan benda-benda yang melalui mulut; badan dengan sentuhan-sentuhan; dan pikiran dengan obyek pikiran, gagasan dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam kelompok ini. Ada baiknya untuk membahas secara singkat apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah “pikiran” manas dalam filsafat Buddhis. Kita harus mengerti dengan baik bahwa yang dimaksud dengan manas bukanlah “jiwa” sebagai lawan dari “badan jasmani”. Manas sebenarnya juga sebuah indria sebagaimana halnya dengan mata atau telinga. Manas atau pikiran dapat dikontrol dan dikembangkan seperti indria yang lain dan Sang Buddha sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan mengembangkan keenam indria ini. Perbedaan antara indria mata dan indria pikiran ialah bahwa mata berhubungan dengan warna dan benda yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan dengan alam pikiran, gagasan serta obyek mental. Kita mengetahui berbagai hal di dunia ini melalui berbagai indria yang kita miliki. Misalnya, kita tidak dapat mendengar warna, tetapi kita melihat warna; sebaliknya, kita tidak dapat melihat suara, tetapi kita mendengar suara. Dengan lima indria fisik kita hanya dapat mengetahui bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh. Tetapi, kesemuanya ini baru merupakan sebagian dari isi dunia ini. Sebab, bagaimana dengan gagasan-gagasan dan pikiran? Mereka pun merupakan bagian dari dunia ini. Tetapi kita tidak dapat mengetahui mereka dengan perantaraan indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan jasmani. Namun, mereka dapat kita ketahui melalui indria keenam yaitu indria pikiran. Tetapi, harus pula disadari bahwa pikiran dan gagasan-gagasan tidaklah berdiri sendiri terlepas dari pengalaman-pengalaman lima indria fisik lainnya. Pada hakekatnya mereka tergantung kepada dan timbul oleh pengalaman fisik. Seorang yang dilahirkan buta tidak mempunyai ide gambaran tentang warna, kecuali melalui perbandingan dari suara atau hal-hal lain yang ia pernah alami dengan indrianya yang lain. Dengan demikian, jelas bahwa hal-hal lain yang merupakan bagian dari dunia ini, dihasilkan dan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman fisik yang telah dicerap oleh pikiran kita. Oleh karena itu, pikiran manas dapat dianggap sama seperti indria-indria lain, misalnya mata atau telinga. Khanda ketiga ialah “kegemaran kepada pencerapan” saññakkhandha. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan ini pun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek sasaran masing-masing. Seperti juga perasaan, pencerapan tercipta oleh karena enam indria kita mengadakan kontak dengan dunia luar. Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental. Khandha keempat ialah “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” sankharakkhandha. Dalam kelompok ini termasuk semua kegiatan “kehendak” kita, yang baik maupun yang buruk. Yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai “kamma” termasuk dalam kelompok ini. Kita harus selalu ingat akan definisi tentang kamma yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri “O bhikkhu, kehendak cetana itulah yang Aku namakan kamma. Sesudah berkehendak orang kemudian berbuat dengan badan jasmani, ucapan atau pikiran”. Kehendak cetana adalah satu bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah untuk mengarahkan pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau perbuatan netral. Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental. Perasaan dan pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak. Mereka tak akan menimbulkan buah-kamma. Hanya kegiatan kehendak yang dapat menimbulkan buah-kamma, misalnya Manasikara – perhatian Chanda – keinginan untuk berbuat Adhimokkha – ketetapan hati Saddha – keyakinan Samadhi – samadhi Pañña – kebijaksanaan Viriya – semangat, tenaga, gaya untuk berbuat sesuatu Raga – hawa nafsu Patigha – kebencian, dendam Avijja – ketidaktahuan, kebodohan Mana – kesombongan Sakkayaditthi – ide tentang adanya “aku” yang kekal dan terpisah Semuanya terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” Khandha kelima ialah “kegemaran akan kesadaran” viññana-kkhanda . Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indria kita dengan obyek-sasaran dari indria yang bersangkutan. Misalnya, kesadaran mata cakkhu-viññana mempunyai mata sebagai dasar dan sebagai obyek-sasaran, benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran pikiran mano-viññana mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek. Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indria-indria kita. Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria kita dan obyek sasarannya. Anda harus mengerti dengan sebaik-baiknya, bahwa Kesadaran tidak dapat mengenal suatu obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu kesadaran akan adanya satu obyek. Kalau mata kita mendapat kontak dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita bangkit dan kita sadar tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya sebagai warna biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa. Tingkat Pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah terlihat. Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya dengan kesadaran indria-indria lainnya. Di sini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut Buddha Dhamma tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai “aku”, “jiwa” atau “ego” sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran viññana janganlah sekali-kali dianggap sebagai “jiwa” yang kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalah pahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran sebagai semacam “jiwa” dan “ego” yang bersifat kekal abadi. Salah seorang siswa Sang Buddha bernama Sati bersikeras mengatakan bahwa Sang Guru pernah berkata “Kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk dan berkeliling.” Ketika mendengar ini Sang Buddha lalu bertanya kepada Sati apa yang dimaksudkan dengan “kesadaran” itu? Jawaban Sati adalah klasik “Sesuatu yang melakukan, yang merasakan dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya, di dunia ini dan alam sana.” “Orang bodoh”, jawab Sang Guru, “dari siapakah pernah engkau dengar Aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali Aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya, maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan. Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya, api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia timbul Majjhima Nikaya, Maha Tanhasankhaya Sutta. Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut “… api yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam kenbali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll. … dan menjadi api jerami dst…. Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini tidak melompat ke telinga, dll. … dan menjadi kesadaran telinga dst. … Sang Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat timbul tanpa adanya mereka itu. Beliau berkata “Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara rupapayang, benda sebagai obyek ruparammanang, benda sebagai pembantu rupapatitthang dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai perasaan sebagai perantara … atau pencerapan sebagai perantara … atau bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang. Andaikata ada orang yang berkata aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada.” Secara singkat inilah yang dimaksud dengan Lima Kelompok Kegemaran Pañcakkhanda. Lalu yang dinamakan makhluk, orang atau “aku” hanyalah merupakan sebuah nama atau sebuah sebutan belaka yang kita berikan kepada Lima Kelompok Kegemaran tersebut. Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha Yad aniccang tang dukkhang. Inilah makna sebenarnya dari kata-kata Sang Buddha “Secara singkat, Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Mereka tidak pernah sama pada dua saat yang berlainan. Di sini A tidak sama dengan A. Mereka merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat timbul dan lenyap kembali. “O brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang dijumpai di perjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya. Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung.” Sang Buddha pernah berkata kepada Ratthapala “Dunia ini berada dalam proses bergerak terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal.” Satu materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada sesuatu di belakangnya yang dapat disebut sebagai satu Atta Pali atau Atman Skrt yang kekal abadi, satu pribadi atau yang disebut sebagai “aku”. Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut sebagai “aku”. Tetapi kalau Lima Kelompok Kegemaran ini, yang keadaannya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi sebagi satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide tentang adanya sang “aku” itu. Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah satu dari 52 buah bentuk pikiran dari Kelompok Kegemaran keempat yang baru saja kita perbincangkan, yaitu bentuk pikiran tentang adanya ide dari sang “aku” sakkaya-ditthi; dari sat = makhluk dan kaya = tubuh. Lima Kelompok Kegemaran ini secara keseluruhan, yang secara populer disebut sebagai “makhluk”, juga merupakan dukkha sankharadukkha. Sebenarnya tak ada “makhluk” atau “aku” lain yang berdiri di belakang Lima Kelompok Kegemaran itu yang mengalami penderitaan. Dalam hubungan ini Buddhagosa pernah berkata “Hanya penderitaan yang ada, namun “tak dapat dijumpai si penderita; “Perbuatan yang ada, tetapi “tak ada si pembuat.” Vism. PTS, hal. 513 Tak adalah penggerak yang tak bergerak di belakang pergerakan itu. Yang ada hanya pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk mengatakan bahwa penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu sendiri merupakan pergerakan. Penghidupan dan pergerakan bukanlah dua hal yang berbeda. Dengan perkataan lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang juga merupakan si pemikir. Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir tak akan dapat dijumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali dengan paham kaum Cartesian yang berbunyi “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, dan karena itu aku ada.” Sekarang mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada permulaannya? Menurut Buddha Dhamma, awal dari proses penghidupan satu makhluk tak dapat terpikir. Sang Buddha pernah bersabda “O bhikkhu, roda tumimbal-lahir samsara tak mempunyai akhir yang dapat dilihat. Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk yang sekarang kelihatan berkeliaran ke sana dan ke mari, diselubungi oleh ketidaktahuan avijja, diikat erat-erat oleh belenggu keinginan yang tak habis-habisnya tanha, tidak dapat diketahui dengan jelas.” S II, hal. 178/9; III hal. 149, 151. Selanjutnya mengenai ketidaktahuan avijja, yang merupakan sebab utama dari tumimbal-lahir yang tak habis-habisnya, Sang Buddha bersabda “Awal dari avijja tidak dapat diketahui dengan jelas. Ini harus diartikan bahwa kita tidak dapat menentukan dengan tepat bahwa di luar titik tertentu tidak lagi terdapat avijja.” Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa tidak terdapat lagi kehidupan di luar titik tertentu. Inilah secara singkat makna dari Kesunyataan Mulia tentang Dukkha. Sangat penting sekali untuk mengerti Kesunyataan Mulia Pertama ini dengan baik, sebab Sang Buddha juga pernah bersabda “Ia yang telah melihat dukkha akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, dapat melihat pula terhentinya dukkha dan dapat melihat pula jalan yang menuju ke terhentinya dukkha.” Harap jangan disalahartikan, bahwa kehidupan seorang Buddhis itu murung dan penuh kesedihan. Sebaliknya, seorang Buddhis sejati adalah orang yang paling bahagia. Ia tak mempunyai rasa takut atau ketegangan. Ia selalu sabar dan gembira dan ia tak terpengaruh atau merasa kesal oleh adanya suatu perubahan atau bencana karena ia melihat benda-benda menurut kodratnya yang sebenarnya atau sewajarnya. Sang Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang yang pernah mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah orang yang selalu tersenyum mihitapubbangama. Dalam lukisan atau pahatan Sang Buddha selalu digambarkan dalam keadaan bahagia, tersenyum, puas dan penuh welas asih. Tak sedikit pun penderitaan atau kemasygulan yang dapat terlihat. Kebudayaan dan arsitektur Buddhis dengan vihara-viharanya belum pernah memberi kesan tentang kemurungan atau kesedihan, tetapi selalu memberikan suasana yang tenang, khidmat, mulia dan agung. Meskipun hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis seharusnya jangan bersikap murung, atau bersikap marah atau tak sabar terhadapnya. Salah satu sifat buruk, menurut paham Buddhis, adalah patigha. Patigha dapat diartikan sebagai “keinginan tidak baik” ill-will terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan dan terhadap benda-benda yang ada hubungannya dengan penderitaan. Fungsinya ialah menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah laku yang buruk. Oleh karena itu salah sekali bertindak tidak sabar terhadap penderitaan. Dengan bertindak tidak sabar dan marah-marah kita tidak dapat menyingkirkan penderitaan. Bahkan, ia akan menambah lebih banyak kesulitan lagi, memperbesar, dan merangsang keadaan yang memang sudah tidak menyenangkan itu. Yang perlu kita lakukan bukanlah marah-marah atau tidak sabar, melainkan berusaha untuk mengerti akan seluk beluk penderitaan itu, bagaimana ia timbul dan bagaimana menyingkirkannya. Selanjutnya, kita harus bekerja untuk mencapai tujuan itu dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, keyakinan dan kemauan keras. Kita mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha dan Therigatha. Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh kebahagiaan dari siswa-siswa Sang Buddha, baik pria maupun wanita, yang telah berhasil memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha. Baginda Raja Kosala pada suatu hari memberitahukan Sang Buddha bahwa berlainan dengan pengikut agama-agama lain yang air mukanya kelihatan liar, beringas, pucat, kurus kering dan tidak bercahaya, maka siswa-siswa Sang Buddha kelihatannya gembira dan bercahaya, penuh dengan kebahagiaan hidup, menikmati hidup suci, indria-indrianya terkekang, bebas dari ketegangan, sabar, tenang dan periang. Raja itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena para bhikkhu itu benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran Sang Tathagata Buddha. Buddha Dhamma menentang pikiran yang murung, sedih dan penuh dengan perasaan bersalah, yang dianggap sebagai penghalang untuk menembus Kesunyataan dan memperoleh Penerangan Agung. Sebaliknya, kegiuran piti termasuk salah satu dari tujuh Bojjhanga yang dengan mutlak harus dikembangkan untuk mencapai Penerangan Agung Nibbana.